PROPOSAL
TESIS
PENGARUH GAYA
KEPEMIMPINAN SITUASIONAL TERHADAP KEPUASAAN KERJA DAN KINERJA PEGAWAI AKADEMI
PERAWAT KESEHATAN PROVINSI
NUSA TENGGARA BARAT

Diajukan Oleh :
R YUDI UTOMO
NIM : I2A010129
PROGRAM
MAGISTER MANAJEMEN
PASCASARJANA UNIVERSITAS MATARAM
2012
LEMBAR
PENGESAHAN
DISETUJUI
Pembimbing I
Dr.H.Zainal Abidin.M.Si
|
Pembimbing II
Drs.Sarifudin Serip.MM
|
Mengetahui
Sekretaris I Bidang Akademik
Junaidi
Sagir.SE.MBA
NIP.195912241989031003
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Kedudukan dan peranan Pegawai Negeri Sipil sebagai unsure aparatur Negara
yang bertugas sebagai abdi masyarakat harus menyelenggarakan pelayanan secara
adil kepada masyarakat dengan dilandasi kesetiaan dan ketaatan kepada pancasila
dan Undang-undang Dasar 1945. Untuk dapat melaksanakan tugas dengan baik, maka pembinaan pegawai di arahkan untuk meningkatkan kualitas sumber daya
manusia agar memiliki sikap dan prilaku yang berintikan
pengabdian,kejujuran,tanggung jawab,disiplin serta wibawa sehingga dapat
memberikan pelayanan sesuai tuntutan perkembangan masyarakat.
Disisi lain, sebagai abdi Negara dan abdi masyarakat,pegawai negeri sipil
dituntut tanggung jawab yang tinggi dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Hal ini penting untuk dilakukan untuk memperbaiki citra aparatur
pemerintah yang jauh tertinggal, yang
apabila ditelusuri dan dicari penyebabnya adanya perbedaan antara harapan dan
kenyataan yang diterima sehingga menimbulkan rasa tidak puas.
Keberhasilan sebuah organisasi sangat dipengaruhi oleh kinerja
karyawannya. Kinerja merupakan prestasi kerja, yakni perbandingan antara hasil
kerja yang secara nyata dengan standar kerja yang ditetapkan (Dessler,1992).
Setipa organisasi berusaha untuk
meningkatkan kinerja karyawannya demi tercapainya tujuan yang telah ditetapkan
oleh organisasi. berbagai cara dapat ditempuh oleh organisasi dalam
meningkatkan kinerja karyawannya
diantaranya dengan mewujudkan kepuasan kerja karyawan melalui budaya organisasi
dan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan
harapan karyawan.
Untuk mengelola dan mengendalikan berbagai fungsi subsistem dalam
organisasi agar tetap konsisten dengan tujuan organisasi dibutuhkan seseorang
pemimpin karena pemimpin merupakan bagian penting dalam meningkatkan kinerja para pekerja (Bass,1994 dalam Cahyono 2005). Disamping itu
kemampuan pemimpin dalam menggerakan dan memberdayakan karyawannya akan
berpengaruh terhadap kinerja karyawan. Perubahan lingkungan dan teknologi yang
cepat menuingkatkan komfleksitas tantangan yang dibatasi oelh organisasi, hal
ini memunculkan kebutuhan organisasi terhadap pemimpin yang dapat
mengarahkan dan mengembangkan
usaha-usaha bawahan dengan kekuasaan yang
dimiliki untuk mencapai tujuan oragnisasi dalam membangun organisasi
menuju high performance ( Harvey dan Brown,1996 dalam cahyono, 2005).
Kepemimpinan didefinisikan menggunakan pengaruhnya untuk mengarahkan
aktivitas dan sikap orang lain. Ini menyiratkan bahwa kekerasan tidak
digunakan. Pemaksaaan adalah bukanlah bagian dari kepemimpinan. Kepemimpinan
dan manjemen keduanya merupakan fungsi penting dari organisasi walaupun kedua
istilah ini sering saling tukar,kedua fungsi ini sebenarnya berbeda. Manajemen
cendrung untuk mendukung stabilitas di organisasi,sementara kepemimpinan
mendukung perubahan (Buhler,2004:327).
Tanpa mengurangi arti penting dari unsure-unsur organisasi lainnya,
peranan sumber daya manusia
merupakan komponen dasar yang
penting dari setiap organisasi karena bersifat dinamis. Oleh karena itu
pimpinan sebagai pengelola sumber daya manusia dituntut untuk memiliki gaya
kepemimpinan yang sesuai situasi dan
kondisi oraganisasi. Dimana pimpinan dapat bekerja sama dan dapat menekan
kemungkinan konflik yang akan terjadi
dalam kelompok kerja sehingga dapat mencapai tujuan organisasi gtersebut.
Untuk dapat melaksanakan tugas dan fungsi secara maksimal, maka keaktifan
dari top level sampai dengan low level harus dapat
dimaksaimalkan.sehingga sejauh mana gaya kepemimpinan situasional yang
diterapkan oleh kepala Akademi Perawat Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat memberikan
konstribusi secara langsung mapun tidak
langsung terhadap kepuasan kerja pegawai serta kinerja pegawai.
Gibson et al (1995), mengemukakan tugas manajemen sumber daya manusia
berkisar pada upaya mengelola unsure manusia dengan potensi yang dimiliki
sehingga dapat diperoleh sumber daya manusia yang puas (satisfied) dan
memuaskan (satisfactory) bagi organisasi. Salah satu tujuan bekerja adalah
memperoleh kepuasaan kerja. Kepuasan kerja berkaitan erat antara sikap pegawai terhadap berbagai factor dalam pekerjaan,
antara lain : situasi kerja,pengaruh social dalam kerja, imbalan dan
kepemimpinan serta factor lain.(Lodge
& Derek,,1992, dalam Waridin & Masrukin,2006). Orang akan puas bila
tidak ada perbedaan (discrepancy) antara yang diinginkan dengan persepsinya
atas kenyataan. Meskipun terdapat perbedaan akan tetapi kalau perbedaan itu
positif maka orang atau pegawai akan
merasa puas, demikian juga sebaliknya.
Robbins (2006) mendifinisikan kepuasaan kerja sebagai sikap umum individu
terhadap pekerjaannya. Perlu diingat pekerjaan seseorang menuntut
interaksi dengan rekan sekerjanya,atasan,mengikuti peraturan dan
kebijakan organisasi,memenuhi standar kinerja,hidup pada kondisi kerja yang
sering kurang dari idela dan lain sebagainya. Robbins juga mengemukakan tentang faktor-faktor yang umumnya dalam menentukan kepuasaan kerja adalah
suasana pekerjaan,pen saat ini,pengawasan,tingkat upah saat ini,peluang promosi
dan hubungan dengan mitra kerja.
Banyak faktor yang mempengaruhi
kepuasan kerja seorang karyawan. Faktor gaji
menjadi faktor utama dalam motivasi, sebab gaji merupakan output atau hasil dari sebuah
proses kerja (hanafi,1997). Kesesuaian antara besarnya tanggung jawab dan besarnya gaji ini menjadi bahan pertimbangan bagi karyawan untuk menerima atau
menolak sebuah pekerjaa. Faktor
kedua adalah prilaku pemimpin,dimana
prilaku pemimpin memiliki dampak yang signifikan terhadap sikap karyawan, prilaku dan kinerja
karyawwan. Faktor lain yang mempengaruhi kepuasan kerja adalah lingkungan kerja. Hubungan kerja yang erat dan
saling membantu antara sesame
pegawai,antar bawahan dengan atasan akan mempunyai pengaruh yang baik
pula terhadap kepuasan kerja pegawai.
Prestasi kerja atau
kinerja adalah hasil kerja yang dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang
dibebankan kepadanya yang didasarkan
atas kecakapan,pengalaman dan kesungguhan serta waktu (Hasibuan,2003:94).
Kinerja itu sendiri adalah hasil yang
dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan
kegiatan dalam satu kurun waktu tertentu. Kinerja pegawia sangat mempengaruhi
kinerja.
Penilaian kinerja amat penting bagi suatu organisasi.
Dengan penilaian kinerja tersebut suatu organisasi dapat melihat sejauh
mana faktor manusia
faktor manusia dapat menunjang tujuan suatu organisasi. Penilaian
terhadap prestasi dapat memotivasi pegawai agar terdorong untuk bekerja lebih
baik. Oleh karena itu diperlukan penilaian kinerja yang tepat dan konsisten.
Akademi
Perawat Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat memiliki karyawan sebanyak 71
orang yang terdiri dari pegawai struktural
dan nonstruktural. Instansi ini merupakan unit pelaksana teknis Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat
mengelola institusi pendidikan Diploma III Bidang Keperawatan. Akademi Perawat
Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat mempunyai tugas pokok yang sangat
kompleks, dan tentunya memerlukan
kompetensi karyawan yang cukup variatif, yang di tunjang oleh pengusaaan di bidang tugas masing-masing serta suasana kerja organisasi
yang kondusif.
Dari hasil
pengamatan sementara bahwa terdapat indikasi-indikasi yang ditemui sehubungan
dengan kepemimpinan Kepala AKPERKES Provinsi Nusa Tenggara Barat, dalam
memberikan kepuasan kerja pegawai dan meningkatkan kinerja pegawai adalah
sebagai berikut : 1) adanya sikap atau suara-suara yang tidak menyenangkan dari
bawah sehingga pimpinan perlu memahami situasi dan kondisi kerja, 2)
kerjasama yang masih kurang baik dari
masing-masing bagian yang disebabkan kurangnya koordinasi/pengawasan dari
pimpinan, 3) kurangnya kepercayaan kepada bawahan yang mengakibatkan
ketidakseimbangan sikap pimpinan terhadap bawahan, yang menyeabkan
terbengkalainya beberapa pekerjaan,4) kurang dukungan dari pimpinan yang
menyebabkan semangat kerja pegawai berkurang, 5) dalam hal pengambilan
keputusan yang penting bagi organisasi para pegawai kurang dilibatkan secara
partisipatif. Adapaun gaya kepemimpinan
yang diteliti dalam penelitian ini adalah tentang gaya kepemimpinan
situasjonal di ambil dari teori kepemimpinan
situasional Hersey-Blanchard (dalam Thoha 2009) yaitu : 1) instruksi
adalah prilaku pemimpin yang tinggi pengarahan dan rendah dukungan, 2)
konsultasi adalah prilaku pemimpin yang tinggi pengarahan dan tinggi dukungan,
3) partisifasi adalah prilaku pemimpin yang tinggi dukungan dan rendah
pengarahan dan 4) delegasi adalah prilaku pemimpin yang rendah dukungan dan
rendah pengarahan
1.2.Perumusan Masalah
Masalah yang
dirumuskan dalam penelitian ini adalah :
1.
Apakah gaya kepemimpinan situasional yaitu instruksi,konsultasi,partisifasi
dan delegasi berpengaruh signifikan secara simultan terhadap kinerja pegawai
Akademi Perawat Kesehatan provinsi Nusa Tenggara Barat
2.
Apakah gaya kepemimpinan situasional yaitu
instruksi,konsultasi,partisifasi dan delegasi berpengaruh signifikan secara
parsial terhadap kinerja pegawai Akademi Perawat Kesehatan provinsi Nusa
Tenggara Barat
3.
Apakkah kepuasan kerja pegawai memperkuat atau
memperlemah pengaruh gaya kepemimpinan situasional terahdap kinerja pegawai
pada badan kepegawaian pada Akademi Perawat Kesehatan Provinsi NJusa Tenggara
Barat ?
1.3.Batasan Masalah.
Batasan masalah
dalam penelitian ini adalah :
Bagaimana pengaruh gaya kepemimpinan situasional yang terdiri dari
instruksi,konsultasi,partisifasi dan delegasi terhadap kepuasan kerja pegawai
dan kinerja pegawai.
1.4.Tujuan Penelitian.
Tujuan penelitian ini adalah :
1.
Untuk
mengetahui pengaruh yang signifikan secara simultan gaya kepemimpinan
situasiona yaitu instruksi,konsultasi, partisipasi dan delegasi terhadap
kinerja pegawai Akademi Perawat Kesehatan provinsi Nusa Tenggara Barat.
2.
Untuk mengetahui pengaruh yang signifikan secara
parsial gaya kepemimpinan situasiona yaitu instruksi,konsultasi, partisipasi
dan delegasi terhadap kinerja pegawai Akademi Perawat Kesehatan provinsi Nusa
Tenggara Barat.
3.
Untuk mengetahui kepuasan kerja pegawai
memperkuat atau memperlemah pengaruh gaya kepemimpinan situasional terhadap
kinerja pegawai Akademi Perawat
Kesehatan provinsi Nusa Tenggara Barat.
1.5.Manfaat penelitin
- Memberikan masukan bagi pimpinan atau pejabat/pengambail kebijakan dalam upaya pembinaan dan pengembangan /pemberdayaan pegawai,meningkatkan kinerja pegawai serta meningkatkan fungsi pelayanan kepada seluruh pegawai pada Akademi Perawat Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat.
- Dapat menjadi acuan bagi penelitian-penelitian berikutnya.
- Mampu mengidentipikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja karyawan.
1.6.Keaslian Penelitian
Keaslian penelitian ini terletak pada terapan kepemimpinan,kepuasan kerja
dan kinerja sebagai kajian dalam manajemen personalia dan perilaku organisasi
pada subyek penelitian. Ditegaskan demikian, Karena kajian kepemimpinan
situasional yang diasosiasikan dengan
kinerja telah banyak dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Keaslian penelitian
ini juga terletak pada desain adanya
variabel intervening, berupa kepuasan kerja pegawai.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
2.1. Tinjauan Pustaka
Tinajauan
pustaka ini dimulai dari pengkajian dari
beberapa hasil penelitian terdahulu, berikut ini hasil penelitian terdahulu
sebagai berikut :
Sujotjo (200) melakukan
penelitian dengan judul “ Pengaruh Perilaku Kepemimpinan Terhadap Semangat dan
Kegairahan Kerja Dalam Upaya Meningkatkan Prestasi Kerja (Studi Perilaku
Kepemimpinan di Dinas P & K Kabupaten Situbondo). Tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui signifikansi
pengaruh dari perilaku kepemimpinan
terhadap semangat dan kegairahan kerja dan prestasi kerja.
Alat analisis yang digunakan
adalah analisis chi square. Hasil penelitiannya adalah bahwa perilaku pimpinan yang tergolong perilaku instruktif,konsultatif,partisipatif
dan delegatif mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap semangat dan
kegairahan kerja. Pengaruh yang signifikan dari perilaku kepemimpinan juga
terjadi terhadap perestasi kerja pegawai.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka perbedaan yang dapat
dikemukakan adalah mengambil variabel dari pendekatan gaya kepemimpinan situasional yang
dikembangkan oleh Hersey dan Blanchard yang difokuskan untuk meneliti pengaruh gaya kepemimpinan
situasional terhadap kepuasan kerja dan
kinerja pegawai. Obyek penelitian dikhususkan pada pegawai di Akademi Perawat Kesehatan Provinsi
Nusa Tenggara Barat.
Mairuhu (2003) dengan judul
penelitian “Pengaruh Kepuasan Kerja Karyawan Sebagai Variabel-variabel
Moderator Terhadap Keefektifan Implementasi TQM Sebagai Budaya Baru Organisasi
Serta Dampaknya pada Kinerja Karyawan. Lokasi penelitian pada PT. Sriboga
Raturaya Semarang. Penelitian bertujuan
untuk menguji pengaruh variabel-variabel kepuasan kerja sebagai variabel
moderator terhadap hubungan antara implementasi TQM sebagai budaya baru
organisasi dengan kinerja karyawan. Focus penelitian ini pada pendekatan teori kontigensi yaitu mengenai bagaimana
pengaruh interaksi antara implementasi TQM sebagai budaya baru organisasi
sebagai variabel independen dengan variabel-variabel kepuasan kerja sebagai
variabel moderator mempengaruhi kinerja karyawan sebagai variabel dependen.
Penelitian ini menggunakan Analisis
Regeresi Moderasi (Moderating Regeression
Analysis) untuk menguji hipotesis yang diajukan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa, variabel kepuasan kerja atas kerja yang secara ental
menantang dan variabel kondisi kerja yang mendukung, tidak memoderasi hubungan
antara TQM dengan kinerja karyawan karean kedua variabel tersebut adalah variabel predictor langsung. Sedangkan
variabel ganjaran yang pantas, rekan kerja yang mendukung dan kesesuaian kepribadian dengan pekerjaan, memoderasi
hubungan TQM dengan kinerja.
Yasin (2004) melakukan
penelitian dengan judul “Pengaruh gaya Kepemimpinan Terhadap Semangat Kerja dan
Prestasi Kerja Pagawai pada Dispenda Daerah Kota Mataram”. Penelitian ini
melakukan desain gaya kepemimpinan
dengan pendekatan Ohio, di mana kepemimpinan terdiri atas terapan prilaku hubungan (consideration)
dan perilaku tugas (initiating structure).
Tujuan yang dirumuskan pada perinsipnya adalah untuk mengetahui signifikansi
pengaruh dari gaya kepemimpinan terhadap semangat kerja dan perestasi kerja,
selanjutnya dilakukan disain tiga model, yaitu gaya kepemimpinan terhadap
semangat kerja, gaya kepemimpinan terhadap prestasi kerja dan semangat kerja
terhadap prestasi kerja.
Alat analisi yang digunakan adalah analisis regresi dengan bangun tiga
persamaan atau model. Simpulan yang dirumuskan adalah terdapat pengaruh yang signifikan dari terapan consideration dan initiang structure secara
parsial dan serentak terhadap semangat kerja dan prestasi kerja. Simpulan ini
atas uji t dan uji F, ditemukan juga
bahwa terapan perilaku kepemimpinan yang memberikan pengaruh dominan adalah
terapan perilaku hubungan.
Penelitian di atas ditampilkan
karena mempunyai kesamaan dengan penelitian yang akan dilakukan, terutama pada disain
model. Dalam penelitian ini juga akan dibangun tiga persamaan, sehingga rencana
kerjanya relatif sama.
2.2. Landasan Teori
2.2.1. Definisi Kepemimpinan
Kepemimpinan merupakan kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok kearah tercapainya suatu tujuan. Kepemimpinan
adalah pribadi yang dijalankan dalam situasi tertentu, serta diarahkan dalam
suatu proses komunikasi kearah pencapaian satu atau beberapa tujuan tertentu. Kepemimpinan
menyangkut suatu proses pengaruh sosia yang sengaja dijalankan seseorang
terhadap orang lain untuk menstruktur aktivitas dan pengaruh didalam kelompok
atau organisasi (Robbin,2006).
Kartini (1994) menyatakan bahwa fungsi kepemimpinan adalah
memandu,menuntun,membimbing,membangun,member atau membangun motivasi
kerja,mengemudikan organisasi,menjaring jaringan komunikasi dan membawa
pengikutnya kepada sasaran yang ingin dituju dengan ketentuan waktu dan
perencanaan.
George R. Terry (1985) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah merupakan
hubungan antara seseorang dengan lain,pemimpin mampu mempengaruhi orang lain agar bersedia bekerja bersama-sama dalam tugas
yang berkaitan untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Fiedler dalam Cahyono (2005) mengatakan bahwa kepemimpinan adalah pola
hubungan antar individu yang menggunakan wewenang dan pengaruh terhadap orang
lain atau sekelompok orang agar terbentuk kerja sama untuk menyelesaikan suatu
tugas.
Yulk (1989) mendefiniskan kepemimpinan sebagai suatu proses pengaruhb
social yang sengaja dilakukan oleh sesorang terahdap orang lain untuk menstruktur aktifitas-aktifitas dan
relasi-relasi didalam organisasi.
Siagian dalam Waridin & Masrukhin (2006) berpendapat bahwa peranan
para pemimpin dalam orgnisasi sangat sentral dalam pencapaian tujuan dari berbagai sasaran yang ditetapkan
sebelumnya. Kepemimpinan mempunyai fungsi sebagai penentu arah dalam pencapaian
tujuan,wakil dan juru bicara organisasi,komunikator,mediator dan integrator.
Menurut Gorda (2006:157) mendifinisikan pemimpin (leader) adalah orang yang membina dan menggerakkan seseorang atau
kelompok orang lain agar mereka bersedia,komitmen dan setia melaksanakan tugas
dan tanggung jawabnya didalam mencapai tujuan perusahaan yang telah ditetapkan
sebelumnya. Sedangkan kepemimpinan (leadership) adalah sifat atau karakter atau
cara dalam membina menggerakkan seseorang atau sekelompok orang agar mereka
bersedia,komitmen dan setia untuk melaksanakan kegiatan sesuai dengan tugas dan
tanggung jawabnya untuk mewujudkan tujuan perusahaan yang telah ditetapkan
sebelumnya.
Dubin dalam toha (2009:5) mendefiniskan kepemimpinan dengan lebih
menonjolkan kekuasaan yang melekat yaitu “pelaksanaan otoritas dan
pembuatan-pembuatan keputusan”. Definisi ini adalah sebagian kecil dari peranan
pimpinan,karena pada dasarnya dengan otoritas yang dimiliki dapat digunakan
sebagai dasar dalam mempengaruhi prilaku bawahan.
Selanjutnya Siagian mengatakan perilaku pemimpin memiliki kecendrungan
pada dua hal yaitu kosentrasi atau hubungan dengan bawahan dan struktur
inisiasi atau hasil yang dicapai. Kecendrungan
kepemimpinan menggambarkan hubungan
yang akrab dengan bawahan missal bersikap ramah,membantu dan membela
kepentingan bawahan, bersedia menerima konsultasi bawahan dan memberikan kesejahteraan. Kecendrungan seorang pemimpin
memberikan batasan antara peranan pemimpin dan bawahan dalam mencapai tujuan,
memberikan instruksi pelaksanaan tugas (kapan,bagaimana dan hasil apa yang akan
di capai).
2.2.2 Teori Kepemimpinan
Teori-teori kepemimpinan dapat di klasifikasikan sebagai pendekatan
kesifatan (trait theories),
pendekatan perilaku (behavioral theories)
dan pendekatan situasional (contingency
theories) (Robbins,1993), dapat dijelaskan sebagai berikut :
1.
Pendekatan sifat
(trait theories)
Pendekatan kesifatan (trait theories) menekeankan pada
watak/sifat-sifat kepemimpinan. Pendekatan ini mengemukakan bahwa ada
karakteristik tertentu seperti fisik, sosialisasi dan intelegensi (kecerdasan)
yang esensial bagi kepemimpinan yang
efektif, yang merupakan kwalitas bawaan seseorang. Karena tidak semua
orang mempunyai kualitas seperti, maka
hanya mereka yang memilikinyalah yang dapat di pandangs ebagai pemimpin potensial. Pendekatan ini
menyimpulkan bahwa apabila kita dapat menemukan cara mengidentifikasi dan
mengukur kwalitas kepemimpinan yang
dimiliki orang-orang sejak lahir, maka kita dapat menyaring dari pemimpin dan
bukan pemimpin. Pelatihan kepemimpinan hanya akan bermanpaat bagi mereka yang
memang telah memiliki sifat-sifat kepemimpinan (Hersey dan Blanchard,1982).
2.
Pendekatan Perilaku
Pendekatan perilaku (behavioral theories). Dikemukakan
karena pendekatan-pendekatan kesifatan dalam kenyataannya tidak dapat
menjelaskan apa yang menyebabkan
kepemimpinan efektif. Oleh sebab
itu pendekatan perilaku tidak lagi mencoba untuk mencari jawab sifat-sifat
pempin, tetapi mencoba untuk menentukan
apa yang dilakukan oleh para pemimpin
efektif. Babagaimana mereka mendelegasikan tugas, bagaimana mereka
berkomunikasi dengan motivasi bawahan mereka, bagaimana mereka menjalankan
tugas-tugas dan sebagainya.
Tidak seperti sifat-sifat, bagaimana juga perilaku
dapat di pelajari atau dikembangkan. Sehingga individu-individu dapat dilatih
dengan perilaku-perilaku kepemimpinan yang tepat agar mampu memimpin lebih
efektif. Pendekatan perilaku memusatkan perhatiannya pada dua aspek perilaku
kepemimpinan yaitu fungsi-fungsi kepemimpinan dan gaya-gaya kepemimpinan.
Aspek pertama menekankan pada fungsi-fungsi yang
dilakukan pemimpin dalam kelompoknya. Agar kelompok dapat berjalan dengan efektif seseorang harus melakukan dua fungsi utama yaitu :
a.
Fungsi –fungsi yang berhubungan dengan tugas
(task related) atau pemecahan masalah yang menyangkut pemberian saran
penyelesaian, informasi dan pendapatan.
b.
Fungsi-fungsi pemeliharaan kelompok
(maintenance) atau social, mencakup segala sesuatu yang dapat membantu kelompok
berjalan lebih lancer, persetujuan kelompok lain, pencegahan perbedaan pendapatan
dan sebagainya.
Aspek keuda pendekatan perilaku kepemimpinan
memusatkan pada gaya pemimpin dalam hubungannya dengan bawahan. Para peneliti
telah mengidentifikasikan dua gaya kepemimpinan yang utama, yakni gaya dengan
orientasi tugas dan gaya dengan orientasi karyawan.
Manajer berorientasi tugas mengarahkan dan mengawasi
bawahan secara tertutup untuk menjamin bahwa tugas dilaksanakan sesuai dengan
yang diinginkannya. Manajer dengan gaya kepemimpinan ini lebih memperhatikan
pelaksanaan pekerjaan daripada pengembangan dan pertumbuhan karyawan.
Manajer berorientasi karyawan mencoba untuk lebih
memotivasi bawahan dibanding mengawasi mereka. Mereka mendorong para anggota
kelompok untuk melaksanakan tugas-tugas dengan memberikan kesempatan bawahan
untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan, menciptakan suasana
persahabatan serta hubungan saling mempercayai dan menghormati dengan para
anggota kelompok.
2.2.3. Kekuasaan dan Kepemimpinan
Menurut Rivai (2003 :382), menyatakan bahwa konsep kekuasaan (power) erat
sekali hubungannya dengan konsep
kepemimpinan. Dengan memiliki kekuasaan,pemimpin memperoleh alat untuk
mempengaruhi perilaku para pengikutnya. Pemimpin seharusnya tidak hanya menilai
perilakunya sendiri agar mereka dapat mengerti bagaimana mereka mempengaruhi
orang lain, akan tetapi juga pemimpin harus mau dan mampu menilai posisi mereka
dan cara menggunakan kekuasaan.
Dengan demikian menurut Rivai, (2003:382) kekuasaan adalah sesuatu sumber
yang bisa atau tidak bisa untuk
dipergunakan. Penggunaan kekuasaan selalu mengakibatkan perubahan daam
kemungkinan bahwa seseorang atau kelompok akan mengangkat suatu perubahan
perilaku yang diinginkan. Sehingga dapat dikatakan bahwa kekuasaan sebagai
suatu potensi pengaruh dari seorang pemimpin.
Ada tujuh sumber
kekuasaan. Thoha (2009:95) yaitu :
- Kekuasaan paksaan (Coercive Power) yaitu kekuasaan yang didasarkan atas rasa ketakutan.
- Kekuasaan legitimasi (Legitimate Power) yaitu kekuasaan yang bersumber pada jabatan yang dipegang oleh pemimpin.
- Kekuasaan keahlian (Expert Power) yaitu kekuasaan yang bersumber dari keahlian,kecakapan atau pengetahuan yang dimiliki oeh seorang pemimpin yang diwujudkan lewat rasa hormat dan pengaruhnya terhadap orang lain.
- Kekuasaan penghargaan (Reward Power) yaitu kekuasaan yang bersumber atas kemampuan untuk menyediakan penghargaan atau hadiah bagi orang lain.
- Kekuasaan referensi (Referent Power) yaitu kekuasaan yang bersumber pada sifat-sifat pribadi dari seorang pemimpin.
- Kekuasaan infromasi (Information Power) kekuasaan yang bersumber karena adanya ekses informasi yang dimiliki oleh pemimpin yang dinilai sangat berharga oleh pengikutnya.
- Kekuasaan hubungan (Connection Power) yaitu kekuasaan yang bersumber pada hubungan yang dijalin oleh pimpinan dengan orang-orang penting dan berpengaruh baik di luar atau di dalam organisasi
Dengan demikian sumber kekuasaan di kaitkan pada kepemimpinan situasional
yang melahirkan gaya kepemimpinan yang berdasarkan atas kematangan pengikutnya
dan sumber-sumber kekuasaan yang melahirkan bentuk-bentuk kekuasaan. Kalau
kedua hal itu di integrasikan akan menimbulkan suatu pemahaman yang menyeluruh
dari konsepsi kepemimpinan dan kemungkinan aplikasinya. Lebih dari pada itu,
kepemimpinan situasional dapat memberikan perlengkapan untuk memahami dampak
potesial dari setiap sumber kekuasaan tersebut. Kedewasaan para pengikutnya
tidak hanya di tentukan oleh gaya kepemimpinan yang mempunyai tingkat
kemungkinankeberhasilan yang tinggi, akan tetapi juga ditentukan oleh
sumber-sumber kekuasaan yang dtentukan oleh para pimpinan untuk mempengaruhi
prilaku. Oleh karena itu sebagai seorang pemimpin yang efektif selain
menerapkan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan kematangan para pengikutnya,
iapun seharusnya juga menerapkan berbagai bentuk dan sumber kekuasaan yang sesuai
pada pengikut yang sama.
2.2.4. Teori situasional Hersey dan Blanchard.
Teori kepemimpinan yang di kenal dalam pendekatan perilaku ini adalah memfokuskan pada para
pengikut. Mereka mengatakan bahwa keberhasilan pemimpin dicapai melalui
pemilihan gaya kepemimpinan yang benar dan juga tergantung pada kedewasaan para
pengikut – pengikutnya.
Kedewasaan di identifikasikan sebagai kemampuan dan kesediaan orang-orang
untuk mengambil tanggung jawab dalam
mengarahkan prilakuk diri mereka sendiri. Kedewasaan (Maturity) memiliki dua komponen yaitu :
1.
Kedewasaan jabatan, yang menekankan pada
pengetahuan dan skill. Seseorang yang memiliki
kedewasaan dan jabatan yang tinggi memiliki pengetahuan, kemampuan dan
penglaman-pengalaman untuk melaksanakan tugas-tugasnya tanpa pengarahan dari
orang lain.
2.
Kedewasan fsikologis, berkaitan dengan kesediaan
atau memotivasi untuk melakukan sesuatu dengan sendirinya, tanpa dorongan orang
lain.
Dimensi kepemimpinan yang digunakan adalah tugas dan hubungan yang
masing-masing diukur dengan tinggi atau rendah, yang kemudian
mengkombinasikannya kedalam empat gaya kepemimpinan :
a.
Telling
(tugas tinggi – hubungan rendah)
Pemimpin menetapkan peran dan mengatakan kepada orang-orang
apa,bagaimana,kapan dan dimana berbagai tugas harus mereka lakukan. Hal ini
menekankan pada perilaku pengarahan.
b.
Selling
(tugas tinggi – hubungan tinggi)
Pemimpin memebrikan pengarahan langsung sekaligus juga memberikan
dukungan social emosi agar orang – orang memahami dan mengerti apa yang harus
mereka putuskan dan yang mereka kerjakan.
c.
Participating
(tugas rendah – hubungan tinggi)
Pemimpin dan pengikut bersama-sama dalam pembuatan keputusan. Di sini
pemimpin berperan untuk member kemudahan
dan menjaga komunikasi agar lancer.
d.
Delegating
(tugas rendah – hubungan rendah)
Pemimpin hanya memberi sedikit pengarahan dan dukungan, sedang pengikut
diberi kesempatan secara luas untuk melaksanakan sendiri tugas-tugasnya menurut
kemauan dan kemampuannya.
2.2.5. Kepemimpinan Situasional.
Kepemimpinan situasional menurut Hersey dan Blanchard
(dalam Thoha,2009), didasarkan saling berhubungannya hal-hal sebagai berikut
ini :
1.
Jumlah petunjuk dan pengarahan yang diberikan
oleh pimpinan
2.
Jumlah dukungan sosioemosional yang diberikan
oleh pimpinan
3.
Tingkat kesiapan dan kematangan para pengikut
yang ditunjukkan dalam melaksanakan tugas khusus,fungsi atau tujuan tertentu
Konsep ini telah dikembangkan untuk membantu orang menjalankan
kepemimpinan dengan memperhatikan peranannya, yang lebih efektif di dalam
interaksinya dengan orang lain setiap harinya. Konsepsional melengkapi pemimpin
dengan pemahaman dari hubungan antara
gaya kepemimpinan yang efektifan tingkatnkematangan para pengikutnya. Dengan
demikian, walaupun banyak variabel-variabel situasional yang penting lainnya
misalnya : organisasi, tugas-tugas pekerjaan, pengawasan dan waktu kerja,
penekanan dalam kepemimpina situasional. Karena bukan saja pengikut sebagai individu bisa mnerima atau menolak
pemimpinnya, tetapi sebagai pengikut secara kenyataannya dapat menentukan
kekuatan pribadi apapun yang dimiliki pemimpin.
2.2.6. Gaya Dasar Kepemimpinan.
Dalam hubungannya dengan perilaku pemimpin ini, ada dua hal yang biasa
dilakukan oleh pemimpin terhadap bawahan atau pengikutnya yakni : perilaku
mengarahkan dan perilkau mendukung.
Perilaku mengarahkan dapat dirumuskan sejauh mana seorang pemimpin
melibatkan diri dalam komunikasi satu arah. Bentuk pengarahan dalam komunikasi
satu arah ini antara lain, menetapkan peranan yang seharusnya dilakukan
pengikut, memberitahukan pengikut apa yang bisa di kerjakan, dimana menlakukan
hal tersebut, bagaimana melakukannya dan melakukan pengawasan secara ketat
kepada pengikutnya.
Perilaku mendukung adalah sejauh mana seorang pemimpin melibatkan diri
dalam komunikasi dua arah, misalnya mendengar,menyediakan dukungan dan dorongan,
memudahkan interak dan melibatkan para pengikut dalam mengambil keputusan.
Kedua norma prilaku tersebut di tempatkan dalam dua poros yang terpisah dan
berbeda seperti terlihat dalam gambar di bawah ini sehingga dapat diketahui empat gaya dasar kepemimpinan
Tinggi
Tinggi dukungan dan
rendah pengarahan
G3
|
Tinggi pengarahan
dan tinggi dukungan
G2
|
Tinggi dukungan dan
rendah pengarahan
G4
|
Tinggi pengarahan
dan rendah dukungan
G1
|
Rendah ß Prilaku mengarahkan à Tinggi
Gambar 2.1. Empat Gaya Dasar Kepemimpinan
Dalam gaya 1 (G1), seroang pemimpin menunjukkan perilau yang banyak
memberikan pengarahan namun sedikit dukungan. Pemimpin ini memberikan instruksi
yang spesifik tentang peranan dan tujuan
bagi pengikutnya dan secara ketat mengawasi pelaksanaan tugas mereka. Dalam
gaya 2 (G2) pemimpin menunjukkan perilaku yang banyak mengarahkan dan banyak
memberikan dukungan. Pemimpin dalam gaya seperti ini mau menjelaskan keputusan
dan kebijaksanaan yang ia ambil dan mau
menerima pendapat dari pengikutnya. Namun pmimpin dalam gaya ini masih harus
tetap memberikan pengawasan dan pengarahan dalam penyelesaian. Pada gaya 3 (G3)
perilaku pemimpin menekankan pada banyak memberikan dukungan namun sedikit
dalam pengarahan. Dalam gaya seperti ini pemimpin menyusun keputusan
bersama-sama dengan para pengikutnya dan mendukung usaha-usaha mereka dalam
menyelesaiakan tugas.
Adpun gaya 4(G4), pemimpin memberikan sedikit dukungan dan sedikit
pengarahan. Pemimpin dengan gaya seperti ini
mendelegasikan keputusan – keputusan
dan tanggung jawab pelaksanaan tugas kepada pengikutnya.
2.2.5.2. Kematangan Para Pengikut.
Kematangan (maturity) dalam kepemimpinan situasional, Thoha (2009) dapat
dirumuskan sebagai satu kemampuan dan kemauan orang-orang untuk bertanggung
jawab dalam mengarahkan perilakunya sendiri. Variabel-variabel kematangan ini
hendaknya hanya dipertimbangkan dalam hubungannya dengan tugas-tugas spesifik
yang harus dilakukan. Dengan demikian seseorang individu atau kelompok bukannya
dikatakan tidak dewasa atai tidak matang hanya dalam pengertian yang umum.
Semua orang cendrung menjadi lebih atau
kurang dewasa dalam hubungannya dengan suatu tugas spesifik, fungsi atau tujuan
yang akan di capai oleh pemimpin lewat usaha-usahanya. Sebagai contoh seorang
pramuniaga berangkali sangat bertangung
jawab terhadap pengamanan barang dagangannya, tapi sangat ceroboh dalam hal
pekerjaan catat mencatat dan penyimpanan kearsipan barang dagangannya. Dalam
hal ini pramuniagara tersebut dewasa
dalam pekerjaan tulis menulis dan catat mencatat tersebut. Dengan
demiian pimpinan dalam menerapkan gaya kepemimpinannya akan berlainan. Untuk
pengamanan barang dagangan tidak perlu diawasi, teapi untuk pekerjaan catat
mencatat perlu pengawasan
Kemampuan adalah salah satu unsure dalam kematangan, berkaiatan
denga pengetahuan da keterampilan yang
dapat diperoleh dari pendidikan, latihan dan/ atau pengalaman. Adapun kemauan
merupakan unsure lain dari kematangan yang bertalian dengan keyakinan diri dan
motivasi seseorang
Dalam kaitannya dengan tingkat kematangan
seseorang dalam organisasi tertentu perlu diingat bahwa tidak ada
seseorangpun yang mampu berkembang secara penuh (full develoved) atau
sebaliknya di bawah garis kematangan (under develed). Dengan kata lain,
kematangan atau perkemabngan adalah bukanlah suatu konsep global, melainkan
sebuah konsep tentang tugas spesifik. Dalam hubungan ini seperti di singgung di
atas , bahwa seseorang cendrung berada pada tingkat yang berbeda-beda yang tergantung
atas tugas, fungsi atau tujuan tertentu
yang ditugaskan kepada mereka.
Dengan membagi kontinum tingkat kematangan di bawah model kepemimpinan ke
dalam empat tingkat : rendah (M1), rendah ke sedang (M2), sedang ke tinggi (M3)
dan tinggi (M4), maka beberapa tanda yang menunjukkan tingkat kematangan itu dapat dirujukk. Tiap tingkat kkematangan
ini menunjukkan kombinasi kemampuan dan kemauan yang berbeda seperti dapat
dirujuk pada ilustrasi di bawha ini.
Mampu dan mau
|
Mampu tetapi tidak
mau atau kurang yakin
|
Tidak mampu tetapi
mau
|
Tidak mampu dan
tidak mau atau tidak yakin
|
M4
|
M3
|
M2
|
M1
|
Gambar di atas berusaha menggambarkan hubungan antara tingkat kematangan
para pengikut atau bawahan dengan gaya kepemimpinan yang sesuai untuk
diterapkan ketika para pengikut bergerak dari kematangan yang sedang kematangan yang telah berkembang
(dari M1 sampai dengan M4). Hubungan tersebut dapat diikuti uraian
penjelasannya sebagai berikut.
Instruksi diberikan untuk pengiktu yang rendah kematangannya. Orang yang
tidak mampu dan tidak mau (M1) memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan
sesuatu adalah tidak kompeten atau tidak memiliki keyakinan. Dalam banyak kasus
ketidak inginnan mereka merpakan akibat dari ketidakyakinannya atau kurangnya
pengalaman atau pengetahuannya berkenaan dengan suatu tugas. Dengan demikian,
gaya pengarahan (G1) memberikan pengarahan yang jelas dan spesifik.
Pengawasan yang ketat memiliki tingkat kemungkinan efektis yang paling
tinggi. Sekali lagi perlu ditingkatkan
bahwa gaya ini ditujuk sebagai instruksi karena dicirikan dengan peranan pemimpin yang membatasi peranan dan
menginstruksikan orang/bawahan tentang apa, bagaimana,bilamana dan di mana
harus melakukan sesuatu tugas tertentu.
Konsultasi adalah untuk tingkat kematangan rendah ke sedang. Orang yang
tidak mampu tetapi berkeingainan (M2) untuk memikul tanggung jawab memiliki
keyakinan tetapi kurang memiliki keterampilan. Dengan demikian gaya konsultasi
(G2) yang memberikan perilaku mengarahakan, karena mereka kurang mampu, juga
memberikan perilaku mendukung untuk memperkuat kemampuan dan antusias,
tampaknya gaya yang sesuai di gunakan bagi invidu pada tingkat kematngan
seperti ini. Gaya ini dirujuk sebagai “konsultasi” karena masih seluruh
pengarahan masih dilakukan oleh pemimpin. Namun melalui komunikasi dua arah dan
penjelasan pemimpin, pengikut menjadi terlinat dengan mencari saran dan jawaban
atas pertanyaa-pertanyaan. Komunikasi dua arah ini membantu dalam
mempertahankan tingkat komunikasi pengikut
yang tinggi pada saat yang sama tanggung jawab untuk control atas pembuatan
keputusan tetap ada pada pemimpin.
Partisipasi adalah bagi tingkat kematangan dari sedang ke tinggi.
Orang-orang pada tingkat perkembangan ini memiliki kemampuan tetapi tidak
berkeinginan (M3) untuk melakukan tugas yang telah diberikan. Ketidak inginan
mereka itu seringkali disebabkan karena kurangnya keyakinan. Namun bila mereka
yakin atas kemampuannya tetapi tidak mau, maka keinginan mereka untuk
melaksanakan tugas tersebut lebih merupakan persoalan motivasi dibandingkan persoalan
keamanan. Dalam kasus-kasus seperti ini pemimpin perlu membuka
komunikasi dua arah dan secara efektif mendengar dan mendukung usaha-usaha para
pengiktu untuk menggunakan kemampuan yang telah mereka memiliki. Dengan
demikian, gaya yang mendukung,tanpa mengarahkan “partisipasi” (G3) mempunyai
tingkat keberhasilan yang tinggi untuk diterapkan bagi individu dengan tingkat
kematangan seperti ini. Gaya ini di sebut “partisipasi” karena kepemimpinan
atau pengikut saling tukar-menukar ide dalam pembuatan keputusan, dengan
peranan pemimpin yang utama memberikan fasilitas dan berkomunikasi. Gaya ini
melibatkan hubungan kerja yang tinggi dan perilaku berorientasi tugas yang
rendah..
Delegasi adalah bagi tingkat kematangan yang tinggi. Orang – orang dengan
tingkat kematangan seperti ini
adalah mampu dan mau, atau mempunyai
kemampuan untuk memikul tanggung jawab
(M$). Dengan demikian, gaya ‘delegasi”
yang berprofil rendah (G4) memberikan sedikit pengarahan atau dukungan memiliki
tingkay kemungkinan efektf yang paling tinggi dengan individu-individu dalam
tingkat kematangan seprti ini. Sekalipun
pemimpin barangkali masih mampu mengidentifikasikan persoalan, tanggujng jawab
untuk melaksanakan sendiri dan
memutuskannya tentang ikhwal bagaimana,kapan dan dimana dilakukanya. Pada saat
yang sama, mereka secara psikologis adalah matang, oleh karenanya tidak
memerlukan banyak komunikasi dua arah atau
perilaku mendukung. Gaya ini melibatkan perilaku hubungan kerja yang
rendah dan perilaku berorientasi pada tugas juga rendah.
Berikut ini cirri gaya kepemimpinan situasional Paul Hersey dan Ken.
Blanchard (dalam thoha,2009), yaitu :
1.
Gaya instruksi yaitu perilaku pemimpin yang
tinggi pengarahan dan rendah dukungan. Gaya ini dicirikan sebagai berikut :
komunikasi satu arah yaitu pemimpin memberikan batasan peranan
pengikutnya,pemimpin memberitahukan
tentang apa,inisiatif pemecahan masalah dan pembuatan keputusan
semata-mata dilakukan oleh pemimpin, pemecahan masalah dan keputusan di umumkan
dan pelaksanaannya di awasi secara ketat oleh pemimpin.
2.
Gaya kepemimpinan konsultasi yaitu pemimpin yang
tinggi pengarahan dan tinggi dukungan. Gaya ini dicirikan sebagai berikut :
pemimpin masih banyak memberikan pengarahan dan masih membuat hampir sama
dengan keputusan, tetapi hal ini diikuti dengan meningkatkan komunikasi dua
arah dan perilaku mendukung, dengan berusaha mendengar perasaan pengikut
tentang keputusan yang dibuat, serta ide-ide dan saran-saran mereka. Meskipun
dukungan ditingkatkan,pengendalian (control)
atas pengambilan keputusan tetap pada
pemimpin.
3.
Gaya partisipasi yaitu perilaku pemimpin yang
tinggi dukungan dan rendah pengarahan. Gaya ini dicirikan sebagai berikut :
posisi control atas pemecahan masalah
dan pembuatan keputusan di pegang secara bergantian. Pemimpin dan
pengikut saling tukar-menukar ide dalam pemecahan amsalah dan pembuatan
keputusan. Komunikasi dua arah di tingkatkan dan peranan pemimpin adalah secara
aktif mendengar. Tanggung jawab pemecahan masalah dan pembuatan keputusan
sebagian besar berada pada pihak pengikut.
4.
Gaya delegasi yaitu perilaku pemimpin yang
rednah dukungan dan rendah pengarahan. Gaya ini di cirikan sebagai berikut :
pemimpin mendiskusikan masalah bersama – sama dengan bawahan sehingga tercapai kesepakatan
mengenai definisi masalah yang kemudian proses pembuatan keputusan di
delegasikan secara keseluruhan kepada
bawahan. Sekarang bawahanlah yang memiliki control untuk memuruskan tentang bagiamana cara pelaksanaan tugas. Pemimpin memberikan
kesemapatan yang uas bagi bawahan untuk melaksanakan petunjuk mereka sendiri
karena mereka memiliki kemampuan dan keyakinan untuk memikul tanggung jawab
dalam pengarahan perilaku mereka sendiri.
Menurut Frater Telo (2007) bahwa kepemimpinan situasional, perlu
dipertemukan antara gaya kepemimpinan
dengan kematangan pengikut karena
pada saat kita berusaha mempengaruhi orang lain,tugas kita adalah :
1.
Mendiagnosa tingkat kesiapan bawahan dalam tugas
– tugas tertentu.
2.
Menunjukkan gaya kepemimpinan yang tepat untuk
situasi tersebut.
Terdapat 4 gaya kepemimpinan yaitu :
1.
Memberitahukan, menunjukkan,memimpin,menetapkan
(telling-derecting)
2.
Menjual,menjelaskan,memperjelas,membujuk (selling-coaching)
3.
Mengikutsertakan,member semangat,kerja sama (participating – supporting)
4.
Mendelegasikan,pengamatan,pengawasi,penyelesaian
(delegating)
Bagaimana cara kita memimpin haruslah dipengaruhi oleh kematangan orang
yang kita pimpin supaya tenaga kepemimpinan kita fektif dan juga pencapaian hasil optimal. Tidak
banyak orang yang lahir sebagai pemimpin. Pemimpin lebih banyak ada dan handal karena di latihkan. Artinya
untuk menjadi pemimpin yang baik haruslah mengalami trial dan error dalam
menerapkan gaya kepemimpinan.
Pemimpin tidak pernah ada tanpa bawahan dan bawahan juga tidak aka nada
tanpa pemimpin. Kedua komponen dalam organisasi ini merupakan sinergi dalam
perusahaan dalam rangka mencapai tujuan. Paul Hrsey dan Ken Blanchard telah
mencoba melenpar ide tentang kepemimpinan situasional yang sangat praktis
diterapkan oleh pemimpin apa saja. Tentu masih banyak teori kepemimpinan lain
yang baik untuk dipelajari. Dari Hersey dan Blanchard, orang tahu bahwa untuk
menjadi pemimpin tidaklah cukup hanya pintar dari segi kognitif saja tetapi
lebih dari itu juga harus matang secara emosional. Pemimpin harus mengetahui atau
mengenal bawahan, entah itu kematangan kecakapannya ataupun
kemauan/kesediaannya.
Dengan mengenal type bawahan (kematangan dan kesediaan) maka seorang
pemimpin akan dapat memakai gaya kepemimpinan yang sesuai. Sayangnya jaman
sekarang banyak pemimpin yang suka main kuasa saja tanpa memperdulikan bawahan.
Kalaupun bawahan itupun karena ada motif tertentu seperti nepotisme.
2.2.6. Kepuasan Kerja
Gibson (1996) dalam Sylvana (2002:4) mengemukakan bahwa kepuasan kerja
merupakan bagian dari proses motivasi. Kepuasan anggota organisasi dapat
dihubungkan dengan kinerja dan hasil kerja mereka serta imbalan dan hukuman
yang mereka terima. Oleh karena itu, tingkat kepuasan kerja dalam organisasi
dapat ditunjukkan dengan hasil seperti sikap anggota organisasi,pergantian
pekerjaan anggota orgnisasi,kemangkiran atau absensi,keterlambatan dan keluahan
yang biasa terjadi dalam suatu orgnisasi.
Gibson (1996:150), member pengertian bahwa kepuasan kerja adalah suatu
sikap yang di punyai individu mengenai pekerjaanya. Hal ini duhasilakn dari
persepsi mereka terhadap pekerjaannya, didasarkan pada faktor lingkungan kerja, seperti gaya penyelia,kebijakan dan
prosedur, afilisikelompok kerja,kondisi kerja dan tunjangan. Sementara banyak
dimensi telah dihimpun dari kepuasan kerja, lima hal yang terutama mempunyai
karakteristik panting yaitu :
1.
Pembayaran : jumlah yang diterima dan keadaan
yang dirasakan dari pembayaran.
2.
Pekerjaan : sampai sejauh mana tugas kerja
dianggap menarik dan memberikan kesempatan untuk belajar dan untuk menerima
tangung jawab.
3.
Kesempatan promosi : adanya kesempatan untuk
maju
4.
Penyelia : kemampuan penyelia untuk
memperlihatkan ketertarikan dan perhatian kepada kerja.
5.
Rekan kerja : sampai sejauh mana rekan sekerja
bersahabat,kompoten dan mendukung.
Gibson (1996 : 153), alasan utama mempelajari kepuasan kerja adalah untuk
memberikan pemikiran kepada manajer tentang bagaimana mengubah sikap pekerja.
Banyak organisasi menggunakan survey sikap untuk menentukan tingkat kepuasan
kerja pegawai. Survai nasional telah mengidentifikasikan bahwa, umunya 75-80% pekerja telah puas dengan pekerjaan mereka. Tentau saja,meskipun
menarik, survey nasional mungkin tidak mencerminkan tingkat kepuasan kerja di
departemen atau organisasi khusus. Juga hanya
dengan bertanya kepada seseorang sampai dimana kepuasan mereka
menciptakan masalah, adanya bias dalam memberikan jawaban positif, seperti sedikit/kurang indikasi bahwa seseorang
memilih tetap dalam pekerjaan yang tidak memuaskan.
Rivai (2002 : 249), mengemukakan bahwa kepuasan kerja adalah penilaian
dari pekerjaan tentang seberapa jauh pekerjaan secara keseluruhan memuaskan
kebutuhannya. Kepuasan kerja juga adalah sikap umum yang merupakan hasil dari beberapa sikap khusus terhadap
faktor-faktor pekerjaan,penyesuaian diri dan hubungan social individu di luar
kerja. Kepuasan kerja pada dasarnya adalah security
feeling (rasa aman) dan mempunyai segi-segi
1.
Segi social ekonomi (gaji dan jaminan social)
2.
Segi sosial psikologi :
a.
Kesempatan mendapat penghargaan
b.
Kesempatan mendapat penghargaan
c.
Berhubungan dengan masalah pengawasan
d.
Berhubungan dengan pergaulan antara karyawan
dengan karyawan dan antara karyawan dengan atasannya.
Sementara itu faktor-faktor yang dapat menimbulkan kepuasan kerja seorang
adalah : kedudukanpengkat dan jabatan,masalah umur,jaminan financial dan
jaminam social dan mutu pengawasan.
Robbins (2001 : 148), mengemukakan bahwa kepuasan kerja adalah sebagai
suatu sikap umum seorang indivisu terhadap pekerjaannya. Pekerjaan menuntut
intraksi dengan rekan sekerja dan atasan, mengikuti aturan dan kebijakan
orgnisasi,memenuhi standar kinerja,hidup pada kondisi kerja yang sering kurang
dari idela dan hal serupa lainnya. Ini berarti penilaian (asseement) seseorang
terhadap puas dan tidak puasnnya dia terhadap pekerjaan merupakan penjumlahan
yang rumit dari sejumlah unsure pekerjaan yang diskrit (terbedakan dan
terpisahkan satu sama lain).
Robbin (2006 ; 103), kedua pendekatan yang paling banyak digunakan adalah
peringkat global tunggal (single global
rating) dan skor penghitungan (summation
score) yang terdiri dari sejumlah aspek pekerjaan. Metode peringkat global tunggal tidak lebih
dari sekedar menanyai karyawan untuk
menanggapai pertanyaan seperti : “Berdasarkansemua hal, seberapa puas anda
dengan pekerjaan anda ?” para responden kemudian juga menjawab dengan melingkapi angka antara satu sampai dengan
lima yang mencerminkan jawaban dari “sangat puas” sampai “ sangat tidak puas”.
Pendekatan lainnya – penghitungan aspek pekerjaan – lebih canggih. Pendekatan
itu mengidentifikasi elemen-elemen pekerjaan tertentu dan menayakan perasaan
karyawan terhadap setiap elemen tersebut.
Robbin (2006 : 105) mengemukakan tentang dampak kerja pada kinerja
karyawan bahwa ketetarikan para manajer terhadap kepuasan kerja cendrung
berpusat pada dampaknya terhadap kinerja karyawan. Para peneliti telah
menangkap ketertarikan tersebut, sehingga kita menemukan banyak penelitian yang
dirnacang untuk menilai dampak kepuasan kerja pada produktivitas
karyawan,keabsenan dan pengunduran diri.
Davis (1985) dalam Mangkunegara (2005:117) mengemumakan bahwa job satisfaction is related to anumber of
major employee variables, such asturnover,absences,age,occupation and size of
the organization in wich an employee works. Berdasarkan pendapat tersebut,
Mangkunegara (2005 : 117) mengemukakan bahwa kepuasan kerja berhubungan dengan
variabel-variabel seperti turnover,tingkat absensi,umur,tingkat pekerjaan dan
ukuran organisasi perusahaan.kepuasan kerja berhubungan dengan turnover mengandung arti bahwa kepuasan kerja
yang tinggi selalu di hubungkan dengan turnover pegawai yang rendah dan
sebaliknya jika pegawai banyak yang merasa tidak puas maka turnover pegawai tinggi. Kepuasan kerja
berhubungan dengan tingkat absensi
(kehadiran)mengandung arti bahawa pegawai yang tidak puas cendrung tingkat
ketidakhadirannya tinggi. Kepuasan kerja berhubungan dengan umur
mengandung arti bahwa pegawai yang cendrung lebih tua akan merasa lebih puas
daripada pegawai yang berumur relatife muda,karena diasumsikan bahwa pegawai
yang tua lebih berpengalaman menyesuaikan diri dengan lingkungan pekerjaan dan
pegawai dengan usia musa biasanya mempunyai harapan yang idela tentang dunia
kerjanya, sehingga apabila antara harapannya dengan realita kerja terdapat
kesenjangan atau ketidak-seimbangan dapat menyebabkan mereka menjadi tidak
puas. Kepuasan kerja dihubungkan dengan tingkat pekerjaan mengandung arti bahwa
pegawai yang menduduki tingkat pekerjaan yang lebih tinggi cendrung lebih puas
dari pada pegawai yang menduduki pekerjaan yang lebih rendah, karena pegawai
yang tingkat pekerjaanya lebih tinggi menunjukkan kemampuan kerja yang baik dan
aktif dalam mengemukakan ide-ide serta kreatif dalam bekerja. Kepuasan kerja
berhubungan dengan ukuran organisasi perusahaan mendukung arti bahwa besar
kecilnya perusahaan dapat mempengaruhi proses komunikasi, koordinasi dan
partisifasi pegawai sehingga dapat
mempengaruhi kepuasan kerja karyawan.
2.2.7.
Faktor Kepuasan Kerja
Banyak pendapat dari ilmuwan tentang faktor-faktor yang menyebabkan
kepuasaan kerja, diantaranya :
1.
Faktor kepuasan kerja menurut Stephen P.Robbins
Robbins (2006 : 103) mengemukakan faktor-faktor yang umumnya dalam
menentukan kepuasan kerja adalah :
a.
Suasana pekerjaan.
b.
Pengawasan
c.
Tingkat upah saat ini
d.
Peluang promosi
e.
Hubungan dengan mitra kerja
2.
Faktor kepuasan kerja menurut Gilmer.
a.
Kesempatan untuk maju
b.
Keamanan kerja
c.
Gaji
d.
Perusahaan dan manajemen
e.
Pengawasan
f.
Instrinsik pekerjaan
g.
Situasi dan kondisi kerja yang stabil
h.
Aspek social dalam pekerjaan
i.
Komunikasi
j.
Fasilitas
3.
Menurut Mangkunegara (2008) Faktor-faktor yang
dapat mempengaruhi kepuasan kerja adalah :
a.
Faktor pegawai yaitu kecerdasan (IQ), kecakapan
khusus,umur,jenis kelamin,kondisi fisik,pendidikan,pengalaman kerja,masa
kerja,keperibadian,emosi,cara berpikir,persepsi dan sikap kerja.
b.
Faktor pekerjaan, yaitu jenis pekerjaan,struktur
organisasi,pangkat (golongan), kedudukan,mutu pengawasan,jaminan
financial,kesempatan promosi jabatan, interaksi social dan hubungan kerja.
4.
Kreitner dan Kinicki, dalam wibowo (2007),
mengatakan ada lima faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu :
a.
Pemenuhan kebutuhan (need fulfillment). Kepuasan
ditentukan oleh kompensasi yang diberikan kepada individu untuk memenuhi
kebutuhannya.
b.
Perbedaan (discrepancies). Kepuasan merupakan
suatu hasil memenuhi harapan. Pemenuhan harapan mencerminkan perbedaan antara apa yang di harapkan dan apa yang diperoleh individu
dan pekerjaanya. Bila hharapan lebih besar dari apa yang diterima, orang akan
tidak puas. sebaliknya orang akan puas bila menerima manfaat diatas harapan
c.
Pencapaian nilai (value attainment). Kepuasan
merupakan hasil dari persepsi kompensasi yang memberikan pemenuhan kebutuhan.
d.
Keadilan (equity). Kepuasan merupakan fungsi dari seberapa ahli diperlakukan
ditempat kerja
e.
Komponen genetic (genetic components). Kepuasan
kerja merupakan fungsi sifat pribadi dan faktor genetic. Hal ini menyiratkan
perbedaan sifat individu mempunyai arti penting untuk menjelaskan kepuasan
kerja disamping karakteristik lingkungan kerja.
2.2.8.
Kinerja.
Setiap manusia mempunyai potensi untuk bertindak dalam berbagai bentuk
aktivitas. Kemampuan bertindak itu dapat diperoleh manusia baik secara alami
(ada sejak lahir) atau dipelajari. Walaupun manusia mempunyai potensi untuk
berprilaku tertentu tetapi perilaku itu hanya diaktualisasi pada saat-saat
tertentu saja. Potensi untuk berprilaku tertentu itu disebut ability (kemampuan), sedangkan ekspresi
dari potensi ini dikenal sebagai performance
(kinerja).
Hasibuan dalam Sujak (1990) dan Sutiadi (2003 :6) mengemukakan bahwa
kinerja adalah suatu hasil kerja yang dicapai seorang dalam melaksanakan
tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang
didasarkan atas kecakapan,pengalaman dan kesungguhan serta waktu. Dengan
kata lain bahwa kin erja adalah hasil kerja yang dicapai oleh seseorang dalam
melaksanakan tugas yang
diberikan kepadanya sesuai dengan
kreteria yang ditetapkan. Selanjutnya As’ad dalam Agustina (2002) dan Sutiadi
(2003 :6) mengemukakan kinerja seseorang
merupakan ukuran sejauh ana keberhasilan seseorang dalam melakukan tugas
pekerjaannya. Ada 3 (tiga) faktor utama yang berpengaruh pada kinerja yaitu
individu (kemampuan bekerja), usaha kerja (keinginan untuk bekerja), dan
dukungan organisasional (kesempatan untuk bekerja).
Brahmasari (2004:64) mengemukakan bahwa kinerja adalah pencapaian atas
tujuan organisasi yang dapat berbentuk
output kuantitatif maupun kualitatif, kreatifitas,fleksibilitas, dapat
diandalkan atau hal-hal lain yang diinginkan oleh organisasi. Penekanan kinerja
dapat bersifat jangka pendek maupun
jangka panjang. Juga dapat pada tingkatan individu,kelompok maupun organisasi.
Manajemen kinerja merupakan suatu proses
yang dirancang untuk menghubungkan
tujuan organisasi dengan tujuan individu,sehingga kedua tujuan tersebut
bertemu. Kinerja juga dapat merupakan tindakan atau pelaksanaan tugas yang
telah diselesaikan oleh seseorang dalam kurun waktu tertentu dan dapat diukur.
Tika (2006:121) mengemukakan bahwa ada 4 (empat) unsure-unsur yang
terdapat dalam kinerj adalah hasil-hasil fungsi pekerjaan, faktor-faktor yang
berpengaruh terhadap prestasi karyawan,pencapaian tujuan organisasi dan periode
waktu tertentu.
Kinerja adalah penilaian atasan terhadap hasil kerja baik yang bersifat
fisik/material maupun nonfisik/nonmaterial yang dicapai pegawai pada
spesifikasi pekerjaan yang dibebankan kepadanya. Untuk penilaian kinerja ini
mengacu pada peraturan Pemerintah Republik Indonesia Pegawai Nomor 10 Tahun
1979 Tentang Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan Pegawai
Negeri Sipil (PNS), sebagai berikut :
1.
Kesetiaan adalah tekad dan kesanggupan
mentaati,melaksanakan dan mengamalkan sesuatu yang disetiai dengan penuh
kesadaran dan tanggung jawab.tekad dan kesanggupan tersebut harus dibuktikan
dalam sikap dan tingkah laku sehari-hari serta perbuatan dalam melaksanakan
tugas.
2.
Kualitas hasil kerja adalah hasil kerja yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugas yang dibebankan
kepadanya dengan sebaik-baiknya dan tepat pada waktunya serta berani memikul
resiko atas keputusan yang diambilnya atau tindakan yang dilakukanya.
3.
Tanggung jawab adalah kesanggupan seorang
pegawai menyelesaikan pekerjaan yang
diserahkan kepadanya dengan sebaik-baiknya dan tepat pada waktunya serta berani
memikul resiko atas keputusan yang diambilnya atau tindakan yang dilakukannya.
4.
Ketaatan adalah kesanggupan seorang pegawai
mentaati segala peraturan perundang—undangan dan peraturan kedinasan yang
diberikan oleh atasan yang berwenang, serta kesangguppan untuk tidak melanggar
larangan yang ditentukan.
5.
Kejujuran adalah
ketulusan hati seorang pegawai dalam melaksanakan tugas dan kemampuan
untuk tidak menyalah gunakan wewenang yang diberikan kepadanya.
6.
Kerjasama adalah kemampuan seorang pegawai untuk
bekerja bersama-sama dengan orang lain dalam menyelesaikan suatru tugas yang
ditentukan,sehingga mencapai dayaguna dan hasilguna yang sebesar – besarnya.
7.
Prakarsa adalah kemampuan seorang pegawai untuk
mengambil keputusan, langkah-langkah atau melaksanakan suatu tindakan yang
diperlukan dalam melaksanakan tugas pokok tanpa menunggu perintah dari atasan.
2.2.9. Hubungan Gaya Kepemimpinan terhadap
Kinerja.
Gitosudarmo dan
Sudita (1997:128) memberikan focus pada definisi kepemimpinan sebagai proses.
Aspek yang terdapat dalam proses tersebut adalah pemimpin dengan komponen
perilaku,keterampilan,pengetahuan dan nilai-nilainya, aspek kelompok dan
kebutuhan kelompok serta aspek siatuasi berupa nilai
orgnisasi,teknologi,tuntutan tugas dan variasi tugas. Seluruh aspek yang ada
dalam proses tersebut diarahkan untuk mencapai hasil berupa prestasi dan
kepuasan kerja. Adapun prestasi akan tercapai dengan terlebih dahulu
menghasilkan kerja. Adapun prestasi akan
tercapai dengan terlebih dahulu menghasilkan perilaku cerdas karyawan atau
bawahan.
Menurut
Gitosudarmo (1997) mengemukakan bahwa
kepemimpinan merupakan suatu proses mempengaruhi aktivitas dari individu atau
kelompok untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu, dengan kata lain
kepemimpinan merupakan suatu proses yang meliputi tiga faktor yang meliputi
tiga faktor yaitu kepemimpinan,pengikut dan faktor situasi. Interaksi dari
ketiga faktor tersebut akan menghasilkan prestasi dan kepuasan (kinerja).
2.2.10.
Pengaruh Gaya Kepemimpinan Situasional Terhadap
Kepuasan Kerja.
Pada masa era reformasi sekarang
ini mencari seorang pemimpin yang tepat memang tidak gampang, hal
tersebut disebabkan terlalu banyaknya suplay tenaga professional yang tersedia
tetapi cendrung kurang siap untuk menjadi pemimpin yang matang. Walaupun punya
pendidikan yang sangat tinggi sayangnya tidak didukung oleh pengalaman yang
cukup atau banyak pengalaman kurang didukung oleh pendidikan dan wawasan yang
luas. Ketimpangan-ketimpangan tersebut bagi seorang pemimpin
perusahaan/organisasi memiliki dampak yang sangat signifikan terhadap
keharmonisan dan kinerja dari perusahaan/orgnisasi.
Kepuasan kerja merupakan salah satu elemen yang cukup penting dalam
organisasi. Hal ini disebabkan kepuasan kerja dapat mempengaruhi pprilaku kerja
seperti malas, rajin,produktif dan lain-lain, atau mempunyai hubungan dengan
beberapa jenis perilaku yang sangat penting dalam organisasi.
Dengan menerapkan gaya kepemimpinan yang baik pada bawahan maka kepuasan
kerja karyawan akan meningkat, karena karyawan akan merasa diperhatikan oleh pimpinannya. Jadi
ada huubungan yang baik /seimbang antara
atasan dan bawahan yaitu, pemimpin
memperoleh hasil yang memeuaskan dari karyawan dan karyawan terpenuhinyan
kepuasan kerja yang tinggi.
Sedangkan
menurut H. Malayu SP Hasibuan (2006:203) mengemukakan sebagai berikut :
“ Kepuasan
kerja karyawan banyak dipengaruhi sikap pimpinan dalam kepemimpinannya. Gaya
kepemimpinan situasional partisipasi memberikan kepuasan kerja bagi karyawan
karena karyawan ikut aktif dalam memberikan pendapatnya untuk menentukan
kebijaksanaan perusahaan..”
Hal ini sesuai dengan pendapat dari lucky (2000:19) mengemukakan bahwa :
“ Menurut
teori gaya kepemimpinan situasional efektivitas seorang pemimpin dalam
menjalankan tugasnya sangat ditentukan
hubungan pemimpin-bawahan, struktur tugas dan kekuatan posisi pemimpin.
Efektivitas ketiga aspek kepemimpinan situasional ini akan mempengaruhi
kepuasan kerja karyawan.”
Dengan demikian jelas sudah bahwa gaya kepemimpinan situasional memiliki
pengaruh terhadap kepuasna kerja karyawan, semakin sesuai penerapan gaya
kepeimpinan situasional di suatu organisasi/perusahaan maka akan semakin tinggi
tingkat kepuasan konsumen/karyawan.
2.2.11.
Hubungan Kepuasan Kerja Dengan Kinerja.
Gibson (1996:153) mengemukakan bahwa suatu topik yang banyak
diperdebatkan dan kontroversi dalam mempelajari kepuasan kerja adalah dalam hubungannya dengan prestasi kerja. Selama bertahun-tahun banyak manajer percaya
bahwa seorang pekerja yang puas adalah pekerja yang mempunyai prestasi tinggi. Tetapi banyak studi
penelitian menemukan hubungan yang tidak
jelas antara kepuasan dan prestasi.
Beberapa pekerja puas dengan pekerjaannya dan berprestasi rendah. Tentu
saja, terdapat pekerja yang tidak puas tetapi berpretasi unggul.
Gibson (1996:145) karena menentukan variabel yang berpengaruh kepada
orang lain sulit ketika kinerja dan puasan berhubungan secara positif, (maka)
tiga pandangan mengemukan : 1) kepuasan menyebabkan kinerja, 2) kinerja
menyebabkan kepuasan dan 3) penghargaan mengganggu (interverne) dan tidak ada
hubungannya dengan inheren, dari
tinjauan terhadap 20 studi mengenai hubungan antara prestasi kerja dan kepuasan didapatkan
asosiasi yang lemah antara prestasi dan kepuasan. Maka, bukti yang
menyakinkan menyatakan bahwa pekerja yang puas tidak perlu seorang pekerja
yang berkinerja tinggi : usaha manejerial untuk memeuaskan setiap orang tidak akan menghasilkan produksi
yang tinggi. Seperti anggapan bahwa pekerja yang berkinerja tinggi (dengan
sendirinya) juga terpuaskan tidak didukung oleh studi. Pandangan ketiga, bahwa
faktor seprti penghargaan diantara hubungan kinerja dan kepuasan, di dukung
oleh temuan penelitian. Ini berarti bahwa kinerja bukanlah akibat dari
kepuasan, atau sebaliknya.
Dari sudut pandang praktis, bagaimanapun, banyak manajer ingin mempunyai
pekerja yang terpuaskan dan produktif
(tujuan yang banyak memerlukan usaha dan seperti pengambilan kepusan pada siisi
manajer). Maka para manajer meneruskan ketertarikan pada kepuasan kerja
walaupun bukti bahwa kepuasan tidak dapat ditentukan, dalam cara yang nyata,
juga tingkat prestasi. Tetapi bebrapa ahli teori dan peneliti menyarankan
pretsasi mempunyai arti yang lebih luas daripada unit atau mutu produksi yang
sederhana. Kinerj ajuga meliputi berbagai perilaku warga Negara, termasuk
memperlihatkan pada rekan sekerja yang tidak dilatih bagaimana menyelesaikan
pekerjaan, membantu rekan sekerja dalam menyelesaikan pekerjaan dikala sedang
sakit, mebuat komnetar positif dalam komunitas mengenai organisasi,pekerja
ekstra keras untuk mengirimkan barang dan jasa sesuai janji, dna tidak mengeluh
ketika manajemen tidak menyediakan sumberdaya yang dijanjikan. Perilaku
tersebut lebih umum ada pada pekerjaan yang terpuaskan.
2.3.
Krangka Konseptual dan Hipotesis
2.3.1. Kerangka
Konseptual
Memperhatikan
uraian dari bebrapa telaah pustaka terhadap gaya kepemimpinan
situasional,kepuasan kerja dan kinerja di atas, maka penelitian ini menggunakan
pendekatan gaya kepemimpinan Model Hersey dan Blanchard yaitu gaya kepemimpinan
situasional. Kerangka konseptual penelitian ini dapat di gambarkan sebagai
berikut ;
Gambar 2.3. Kerangka Konseptual.
![]() |
Sumber :
dikembangkan untuk penelitian ini.

Pengaruh
secara simultan

2.3.2. Hipotesis
Hipotesis dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut :
- Ada pengaruh yang signifikan dari gaya kepemimpinan situasional yang terdiri dari instruksi,konsultasi,partisipasi dan delegasi secara simultan terhadap kinerja pegawai (Y) pada Akademi Perawat Kesehatan provinsi Nusa Tenggara Barat.
- Ada pengaruh yang signifikan dari gaya kepemimpinan situasional yang terdiri dari instruksi,konsultasi,partisipasi dan delegasi secara parsial terhadap kinerja pegawai (Y) pada Akademi Perawat Kesehatan provinsi Nusa Tenggara Barat.
- Bahwa variabel kepuasan kerja pegawai (Z) memperkuat pengaruh gaya kepemimpinan situasional yang terdiri dari instruksi,konsultasi,partisipasi dan delegasi terhadap kinerja pegawai (Y) pada Akademi Perawat Kesehatan provinsi Nusa Tenggara Barat.
Lucky Club Casino Site – Live Games, Live Casino, Slots, Bingo
BalasHapusLucky Club Casino Site. Live games, live games, luckyclub bingo, slots, poker, casino, online bingo. Lucky Club Casino.